Jumat, 18 Desember 2009

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN PADA PERIKANAN RAWA LEBAK

Dina Muthmainnah

20093602003

Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya

e-mail: dina_mth@yahoo.co.id

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan

Dosen Pengasuh: Prof. Dr. Supli Effendie Rahim

Dikirim pertama kali pada 18 Desember 2009

ABSTRAK

Tahun 2015 Indonesia dicanangkan akan menjadi penghasil perikanan terbesar di dunia terutama dari budidaya. Tentu tak dapat dipungkiri bahwa akan ada dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Pada makalah ini akan memberikan pemikiran pendekatan holistic yaitu pendekatan secara teknik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum dalam upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dari usaha perikanan tangkap dan budidaya di kawasan rawa lebak khususnya di Sumatera Selatan. Bagian rawa lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, dan ini sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Lebak dalam ini sering disebut juga lebak lebung. Di Sumatera Selatan, lelang lebak lebung memberikan andil dalam pendapatan asli daerah. Tindakan pengelolaan meliputi pengawasan terhadap penangkapan dan mengurangi bahaya perubahan habitat baik secara biologi ataupun secara fisik yang dapat dilakukan adalah dengan pembatasan penangkapan, perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhan, mengurangi ikan predator, penebaran dan perbaikan habitat. Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka penebaran kembali dan budidaya perikananlah yang dijadikan usaha perikanan alternatif yang perlu digalakkan.

Kata Kunci: Pendekatan Holistik, Pencegahan, Pengendalian, Pencemaran, Rawa Lebak

PENDAHULUAN

Dewasa ini, masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Status ketahanan pangan pun sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk pemenuhan ketahanan pangan tersebut dapat dilakukan dengan membangun suatu kawasan yang bertujuan menciptakan atau meningkatkan dayaguna kawasan tersebut secara berkelanjutan. Menciptakan dayaguna dapat dilakukan pada kawasan alami, contohnya dengan mengembangkan rawa lebak untuk usaha perikanan budidaya dan tangkap.

Pemahaman dalam mengelola rawa lebak sangatlah penting. Sebaiknya kita mempertahankan fungsi ekologis kawasan tersebut dalam penggunaannya untuk keperluan kehidupan seperti pemukiman, pertanian, perikanan dan lain-lain. Pengelolaan yang bijaksana dengan melakukan penataan ruang, dan pengawasan yang ketat dari pihak pemerintah dapat ditentukan mana kawasan rawa yang dapat dikelola dan mana yang harus dipertahankan fungsi ekologisnya.

Saat ini perikanan Indonesia dalam waktu yang relatif singkat telah mampu memperlihatkan identitasnya, memberikan sumbangan yang substansial dalam pembangunan perekonomian. Secara keseluruhan, perikanan mempunyai peranan dan posisi vital dalam pemenuhan kebutuhan gizi protein, kesempatan kerja, penerimaan devisa dan pengembangan wilayah (Baharsyah, 1990). Produksi perikanan di Propinsi Sumatera Selatan menunjukkan peningkatan selama kurun waktu 2001-2007. Peningkatan produksi ikan 2007 adalah sebesar 11,05% dibanding tahun 2006 yatu sebesar 198.429 ton termasuk hasil tangkapan alam dan hasil budidaya (BPS Sumsel 2008). Dengan dicanangkannya tahun 2015 Indonesia menjadi penghasil perikanan terbesar di dunia terutama dari budidaya, tak dapat dipungkiri bahwa akan ada dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Untuk itu pada makalah ini akan turut memberikan pemikiran pendekatan holistic dalam upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dari usaha perikanan tangkap dan budidaya di kawasan rawa lebak khususnya di Sumatera Selatan.

KARAKTERISTIK RAWA LEBAK

Di Sumatera Selatan ada lima istilah untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak di Sumatera Selatan. Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Kemudian talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran, dan merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas batuan sedimen, atau batuan volkan masam. Untuk lebaknya sendiri terdiri dari lebak pematang yaitu berupa sawah di belakang perkampungan. dan merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga disebut Lebak Dangkal. Untuk lebak tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah lebak tengahan, apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan. Bagian rawa lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, dan ini sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Sedangkan lebak dangkal dan lebak tengahan hanya sesuai untuk pertanian tanaman pangan.

Pada lebak dalam airnya sukar mengering kecuali pada musim kemarau panjang dan disebut juga lebak lebung, yang dijadikan tempat memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6 bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam setahun.

Lahan lebak sebenarnya lebih baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut, di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan adanya lapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Tentunya penelitian karakteristik pola hidrologi, dan potensi agronomi lahan lebak, perlu lebih mendapatkan fokus perhatian lebih besar.

EKOLOGI RAWA LEBAK

Pada perairan lebak lebung di Sumatera Selatan, terdapat berbagai jenis vegetasi air dari familia Graminae dan berbagai jenis pepohonan besar yang merupakan sumberdaya hayati yang sangat menentukan kehidupan hewan-hewan air. Vegetasi air ini melalui proses fotosintesis merupakan penghasil energi untuk metabolism dalam kehidupan sehari-hari serta merupakan sumber energi untuk produksi sekunder. Dalam proses fotosintesa dihasilkan oksigen untuk pernafasan hewani yang hidup dalam ekosistem tersebut. Sumberdaya hayati dalam ekosistem perairan lebak merupakan sumberdaya terbaru, dimana dalam proses pembaruan diri materi mengalami daur ulang. Dengan pendauran itu menjadikan proses pemurnian diri lingkungan karena bahan sisa dari suatu proses akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses yang lain yang menghasilkan zat yang berguna bagi organism yang bersangkutan (Soemarwoto, 1984). Bila dinamika ini terjaga dengan baik akan selalu menghasilkan energi termanfaatkan untuk kelangsungan dan kelestarian sumberdayaperikanan sepanjang tahun.

Dalam bentuk profil memanjang suatu sungai yang alirannya ke arah laut, dapat dibagi 2 bagian yaitu bagian hulu yang disebut dengan rhitron dan bagian hilir disebut potamon. Gaffar et al (1998) mengemukakan bahwa daerah potamon dapat dibagi lagi menjagi 2 bagian yaitu bagian tengah dan bagian hilir. Bagian potamon dicirikan oleh kadar oksigen umumnya rendah, arus lemah dan dasar sungai berupa lumpur atau pasir. Di bagian potamon, air melimpah ke kanan-kiri badan sungai di waktu musim hujan ketika air tidak tertampung lagi. Akibat peluapan dan penyurutan air dari dan ke badan sungai inilah terjadi proses pengendapan yang membentuk tanggul (pematang) sepanjang sungai dan di belakang pematang ini terbentuk daerah paparan banjir di kanan-kiri badan sungai. Perairan rawa banjiran (paparan banjir) termasuk dalam tipe lebak delta tengah yang dilihat dari sektor sumberdaya perikanan tergolong habitat yang penting dibandingkan dengan tipe lebak pinggiran (terletak pada bagian hulu) dan tipe lebak delta pantai (terletak pada bagian hilir). Dalam habitat rawa banjiran terdapat lagi berbagai tipe sub habitat penting yang kondisinya akan berbeda secara dinamis, seiring dengan perubahan musim hujan dan musim kemarau yang terjadi sepanjang tahun antara lain: talang rawang, lebak kumpai dan sungai utama (Batanghari).

Di dalam areal rawang dan lebak kumpai terdapat lagi tipe habitat yang disebut lebung, sedangkan di dalam sungai utama ada terdapat tipe habitat yang disebut lubuk. Lebung dan lubuk merupakan dia tipe sub habitat penting pada tipe perairan paparan banjir, dikarenakan kedua habitat tersebut merupakan tempat perlindungan dan penyelamatan ikan-ikan ekonomis penting tertentu pada saat datangnya musim kemarau. Perairan rawa banjiran (lebak delta tengah) memiliki areal yang lebih luas dan mempunyai jumlah massa dan jenis ikan paling banyak, untuk itulah habitat ini mempunyai kedudukan penting pada sektor sumberdaya perikanan. Pada lebak delta tengah (rawa banjiran) dibedakan menjadi 2 bagian yakni lingkungan sungai induk dan lingkungan lebak. Dalam habitat lebak dan sekitarnya ada berbagai subtipe yang langsung atau tidak langsung menerima pengaruh air dari sungai induk, seperti lebung-lebung, sungai mati, rawa, hutan rawang dan danau.

SUMBERDAYA PERIKANAN RAWA LEBAK

Di Sumatera Selatan pada perairan yang disebut lebak lebung, ikan-ikan yang termasuk ikan hitam (black fishes) adalah betok (Anabas testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), tembakang (Helostoma temminckii), gabus (Channa striata), lele-lelean (Clarias spp), belut (Monopterus albus), sepatung (Pristoplepis fasciatus) dan lain-lain yang umumnya mempunyai alat pernafasan tambahan (labyrinthichi). Jenis ikan hitam dan ikan putih (yang merupakan ikan sungai) jarang hidup bersama, namun pada saat-saat tertentu kedua jenis ikan ini dapat hidup bersama tetapi tidak bertahan lama. Kelompok ikan hitam ini ditinjau dari nilai ekonomis umumnya tergolong ikan murah.

DAMPAK AKTIVITAS NELAYAN TERHADAP HABITAT RAWA LEBAK

Pada habitat lebak ini terdapat lekukan-lekukan dan alur-alur air yang sengaja dibuat nelayan ntuk memudahkan menangkap ikan. Aktivitas penangkapan ikan di perairan tipe lebak pada saat musim kemarau bisa mencapai puncaknya karena kebanyakan ikan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu yang masih ada airnya. Aktivitas penangkapan di lebak pada musim kemarau cenderung menghabiskan sumberdaya ikan dikarenakan nelayan dengan mudah menangkap ikan pada perairan dengan luasan tertentu dan biasanyanya sumberdaya ikan yang ada ditangkap semua (dikuras habis).

Aktivitas lain dari masyarakat nelayan atau penduduk sekitar pada saat musim kemarau adalah kebiasaan membakar tumbuh-tumbuhan air yang sudah kering dan mati, terkadang pula pohon-pohon yang terdapat dalam areal hutan rawang ikut terbakar. Aktivitas pembakaran tumbuhan air atau pohon-pohon di areal perairan rawa banjiran bisa bersifat menguntungkan bila ditinjau dari sisi dan energi atau siklus rantai makanan. Namun bila ditinjau dari keanekaragaman jenis ikan yang hidup di dalamnya dapat bersifat merugikan.

Bahan residu yang dihasilkan dari adanya aktivitas pembakaran tumbuhan di areal lebak pada musim kemarau akan meninggalkan mineral-mineral berguna untuk pertumbuhan fitolankton di saat datang musim penghujan. Unsur-unsur mineral tersebut akan terurai dan dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan akuatik yang juga akan tergantung dari faktor lain seperti faktor fisika (kecerahan). Air hujan yang jatuh yang pada daerah aliran sungai dapat membawa unsur-unsur nitrat, ammonium dan sulfat. Demikian pula air yang turun dari daerah bagian hulu akan membawa unsur-unsur dari pelapukan bebatuan yang selanjutnya meresapi tanah yang dilewati dan meyumbangkan kation-kation seperti Na, K, Mg dan Ca, anion-anion P-terlarut, CO3 dan HCO3. Semua unsur tersebut berperan penting terhadap penyuburan perairan yang dilalui. Demikian lahan lebak, bekas tempat terjadinya akitivitas pembakaran tumbuhan air, perairannya subur begitu digenangi air saat datangnya musim penghujan. Kondisi perairan seperti itu untuk selanjutnya dipenuhi oleh benih-benih atau anak-anak ikan yang baru menetas yang biasanya didominasi oleh benih atau anak ikan dari jenis tembakang (Helostoma temminckii) dan sepat siam (Tricogaster pectoralis).

Pada areal rawa banjiran yang sinar matahari terhalang masuk disebabkan oleh rimbun atau lebatnya pohon-pohon, sebagian besar produktivitas primernya tidak dilakukan oleh kelompok fitoplankton, epifiton maupun perifiton. Kelompok plankton nabati akan terhambat perkembangannya disebabkan adanya kompetisi zat hara dan kompetisi dari tumbuhan macrofit. Dapat pula dijelaskan bahwa peningkatan luas perairan dengan datangnya musim penghujan akan membebaskan zat-zat hara dari komponen teresterial ke dalam komponen akuatik dan memberkan pertumbuhan yang baik terhadap golongan macrofit dan mendukung perkembangan tumbuhan microfit lainnya seperti epifiton dan perifiton.

PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA LEBAK

A. PENDEKATAN TEKNIK

Perlindungan Habitat

Suatu tindakan perekayasaan lingkungan mungkin memberi peluang berkembangnya jenis tertentu melebihi kemampuan jenis ikan lainnya sehingga upaya perbaikan habitat atau perekayaan lingkungan hendaknya menguntungkan jenis yang dikehendaki (Noble, 1980).

Perbaikan habitat dan perekayaan lingkungan dapat dilakukan dalam upaya pemulihan populasi misalnya pembangunan rumpon, penanaman kembali vegetasi hutan rawa, restorasi habitat pemijahan. Perbaikan habitat dapat meningkatkan daya dukung suatu perairan, dimana perairan tersebut dapat menunjang maksimum biomas (ikan) dalam jangka panjang dengan menyediakan sumber pakan. Ketersediaan pakan tersebut tentu saja tergantung pada ketersediaan nutrient dan efisiensi pemanfaatan nutrient tersebut dalam rantai makanan. Terbatasnya unsur hara di perairan yang biasanya berkaitan dengan sifat tanah di lingkungan sekitarnya menyebabkan tingkat kesuburan rendah yang menghasilkan miskinnya pakan bagi pertumbuhan ikan. Perkembangan tanaman air akan menghambat pertumbuhan fitoplankton. Keseimbangan populasi ikan akan terjadi bila ada keseimbangan antara kerapatan tanaman air (macrophyte) dan fitoplankton.

Suaka Perikanan

Suatu pengaturan yang khusus untuk melindungi biodiversitas ikan di suatu perairan adalah suaka perikanan yaitu perairan yang tertentu bagi kegiatan penangkapan baik secara parsial maupun total. Bila ada jenis ikan dikhawatirkan akan punah, atau pada sistem perairan yang luas terjadi penangkapan dengan intensitas tinggi dan dikhawatirkan terjadi penangkapan lebih (over fishing) atau terjadi perubahan habitat perikanan yang berlangsung relatif cepat maka perlu dipilih suatu badan air (dengan batas yang jelas) untuk dijadikan suaka perikanan). Adanya suaka perikanan memungkinkan ikan berkembang biak sehingga mencapai kondisi populasi berimbang atau dapat menyediakan benih ikan untuk memperkaya stok di perairan sekitarnya (Gaffar dan Muthmainnah, 2001).

Pemacuan Stok

Dalam pengelolaan perikanan perairan umum kegiatan pemacuan stok terutama ditujukan untuk memulihkan populasi jenis ikan asli, dengan beberapa sasaran yaitu melindungi kepunahan jenis ikan tertentu, mempertahankan produksi atau stok ikan yang bernilai ekonomi dan menjaga keragaman jenis ikan sebagai sumberdaya hayati perairan (Born, 1999). Perubahan pada suatu sistem badan air akibat pembangunan misalnya bendungan dapat menyebabkan hilangnya beberapa jenis ikan asli dan terjadi perubahan dalam struktur komunitas ikan atau biota perairan (Welcomme, 1979). Pemacuan stok sendiri merupakan berbagai kegiatan meliputi domestikasi, penebaran, perbaikan habitat, budidaya dan penyuburan perairan (Born, 1999).

Domestikasi

Di perairan umum Indonesia terdapat berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan hias. Perusakan habitat dan degradasi mutu lingkungan perairan juga mengganggu siklus hidup ikan yang menyebabkan peremajaan tidak seimbangan dengan penangkapan. Kegiatan domestikasi dimulai dengan memelihara benih atau induk yang berasal dari perairan umum di dalam wadah budidaya, diberi pakan buatan dan setelah ada induk yang matang kelamin dilakukan pemijahan secara terkontrol (Edwards, 1994). Dan bila telah dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkunan yang terkontrol, dapat tumbuh mencapai ukuran yang diinginkan dalam waktu tertentu yang direncanakan, kematangan gonad tidak lagi tergantung pada musim (cuaca) dan perbenihan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan maka usaha ini telah berhasil.

Penebaran

Pelepasan ikan di perairan umum sesuai dengan tujuan dapat dibedakan atas pengembalaan dan pemulihan populasi. Pada pengembalaan maka benih ikan yang ditebar akan dipanen setelah mencapai ukuran yang layak untuk dipasarkan sedangkan pada pemulihan populasi ikan tidak ditangkapi dan diberi kesempatan berkembang biak di perairan umum. Untuk mengoptimalkan manfaat pelepasan ikan di perairan umum perlu dicermati ukuran yang cocok untuk dilepas, kondisi perairan, musim, dan padat tebar (FAO, 1976).

B. PENDEKATAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA

Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui pembinaan dan melindungi sumberdaya untuk kebutuhan generasi mendatang, Perikanan perairan umum sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat terbuka tidak dilakukan oleh orang sebagai “pemilik” tapi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai produsen mapun sebagai konsumen. Karena itu semua orang yang mendapat manfaat dari perikanan perairan umum hendaknya ikut menjaga sumberdaya yang berkelanjutan akan mempengaruhi keberlanjutan usaha mereka.

Pemerintah pusat seringkali gagal untuk mengembangkan suatu pola pengelolaan yang dapat dijadikan komplemen bagi pengelolaan secara tradisional di suatu daerah. Untuk itu perlu dikembangkan pola pengelolaan bersama yang dapat diartikan sebagai urunan tanggung jawab atau otoritas antara pemerintah dan masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan. Dengan demikian akan mengurangi konflik sosial dan meningkatkan keakraban sosial dan masyarakat.

Kunci untuk keberhasilan dalam pendekatan ini adalah perairan yang dikelola mempunyai batas yang jelas; keanggotaan dan jumlah anggota untuk masing-masing perairan ditentukan secara transparan. Pengelolaan berada di lingkungan/dekat dengan perairan yang dikelola dengan tetap memperhatikan sistem dan aturan yang berlaku secara tradisional. Semua pihak mendapatkan keuntungan dari pengelolaan perairan tersebut. Yang paling penting adalah peraturan yang telah dibuat harus dipatuhi oleh semua pihak dan ada koordinasi yang baik antara pengelola dengan instansi pemerintah.

C. PENDEKATAN HUKUM

Perizinan dan Lelang Lebak Lebung

Penangkapan ikan di perairan umum di Sumatera Selatan diatur denga PERDA Sumatera Selatan No. 6 tahun 1978 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 705/KPTS/II/82 tentang Lelang Lebak Lebung. Dengan memberikan hak kepada satu atau sekelompok orang yang disebut “pengemin” untuk mengelola dan “menguasai” satu badan air selama 1 tahun dan diberi tanggung jawab untuk merawat dan mengawasi semua kegiatan di dalam badan air tersebut termasuk memanfaatkan sumberdaya ikan dan biota perairan lainnya.

Sistem lelang ini berhasil mengatur nelayan yang akan menangkap ikan di suatu perairan yang batasnya telah ditentukan dan juga meningkatkan pemasukan bagi pemerintah daerah. Pembatasan waktu 1 tahun mengharuskan pengemin berusaha mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa kasus terjadi pengoperasian alat tangkap yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan.

Dampak negatif dari lelang lebak lebung adalah menonjolnya unsur penguasaan dibanding pengelolaan sehingga perairan umum tidak lagi bersifat umum tapi menjadi milik satu atau sekelompok orang, yang dapat menimbukan konflik sosial dalam masyarakat yang berada di sekitar badan air.

Reservat (Suaka Perikanan)

Untuk tujuan perlindungan dan konservasi ikan dan hewan air lainnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk I Sumatera Selatan No. 389/KPTS/IV/82 telah ditetapkan 3 perairan reservaat perikanan yaitu: (1) Danau Ulak Lia Kabupaten Musi Banyuasin; (2) Lebung Karangan Kabupaten Ogan Komering Ilir; dan (3) Teluk Rasau Kabupaten Ogan Koering Ilir. Dan perairan yang berfungsi sebagai suaka perikanan yaitu Danau Rawa Kabupaten Musi Rawas dan Bendungan Gegas Kabupaten Musi Rawas.

Pembersihan Perairan

Pembersihan perairan terhadap tanaman air pengganggu telah dilakukan oleh Dinas Perikanan sejak tahun 1975 di beberapa perairan yang berfungsi sebagai reservat perikanan dan berdasarkan PERDASS No. 8/1973-1974 kepada pengemin yang memenangkan lelang di suatu perairan dianjurkan untuk merawat dan membersihkan perairan dari tumbuhan gulma.

Penebaran Ikan

Beberapa jenis ikan yang telah diintroduksi oleh pemerintah (Dinas Perikanan) seperti ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis), ikan nila Oreochromis niloticus), ikan Tawes (Puntius gonionotus) dan djambal siam (Pangasius sutchi).

Dalam restocking pemilihan jenis ikan yang ditebar harus dicermati karena ada kecendrungan ikan introduksi dapat mengganggu struktur komunitas ikan yang sudah ada.

Pengaturan Penangkapan

Penangkapan ikan menggunakan alat atau bahan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan seperti penggunaan bahan peledak, racun dan listrik dilarang berdasarkan PERDASS No. 6 Tahun 1978 dan SK Gubernur KDH Tk 1 Sumatera Selatan No. 705/KPTS/II/82. Dilarang juga penangkapan jenis ikan langka misal Tangkeleso (Scheleropages formosus) dan ikan Toman (Ophiocephalus micropeltes) dan Gabus (Channa striata) yang berukuran < 15 cm.

Budidaya Ikan di Perairan Umum

Sistem budidaya dalam sangkar terapung telah dikenal sejak tahun 1978 oleh Ondara, didahului adanya percobaan pembesaran ikan Toman (Ophiocephalus micropeltes) di Lebung Karangan dan Sungai Lempuing. Bahan sangkar semula dari bilah bambu telah berkembang dengan menggunakan bahan kayu, jaring dan bambu bulatan. Jenis ikan yang dibudidayakan sudah beragam baik ikan asli seperti patin, baung, toman, gabus, dan belida mapun ikan introduksi seperti ikan nila, dan jambal siam.

Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka budidaya ikan sebagai usaha perikanan alternatif perlu digalakkan.

PENUTUP

Idealnya dalam usaha pengendalian dan pencegahan dampak negatif pada suatu habitat perlu pendekatan secara holistik. Tindakan pengelolaan meliputi pengawasan terhadap penangkapan dan mengurangi bahaya perubahan habitat baik secara biologi ataupun secara fisik yang dapat dilakukan adalah dengan pembatasan penangkapan, perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhan, mengurangi ikan predator, penebaran dan perbaikan habitat.

Dari segi hukum, di Sumatera Selatan, sistem lelang berhasil mengatur nelayan yang akan menangkap ikan di suatu perairan yang batasnya telah ditentukan dan juga meningkatkan pemasukan bagi pemerintah daerah. Tetapi pembatasan waktu 1 tahun akan menyebabkan pengemin berusaha mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa kasus dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan. Jadi yang menonjol adalah unsur penguasaan dibanding pengelolaan yang dapat menimbukan konflik sosial dalam masyarakat yang berada di sekitar badan air. Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka penebaran kembali dan budidaya perikanan merupakan usaha perikanan alternatif yang perlu digalakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1993. Laporan Tahunan Perikanan Tahun 1992. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Palembang.

Baharsyah, Sj. 1990. Pidato Pengarahan Menteri Muda Pertanian dalam Forum I Perikanan, Sukabumi, 19-20 Juli 1990. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangkan-USAID/FRDP.

Born, B. 1999. Overview of Inland Fishery Enhancement from a Global Perspective FAO Aquaculture Newletter No. 21. FAO Rome.

BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2008. Sumatera Selatan dalam Angka 2008. BPS Sumatera Selatan.

Edwards, P. 1994. Partners in Development: The Promotion of Sustainable Aquaculture AIT, Bangkok.

Gaffar, A. dan A.D. Utomo. 1990. Effektifitas dan Selektifitas Berbagai Alat Tangkap di Lubuk Lampam, Sumatera Selatan. Bul. Penel. Perikanan Darat 9(1):1-7.

Gaffar, A.K., A.D. Utomo dan S. Adjie. 1991. Pola Pertumbuhan, Makan dan Fekunditas Ikan Semah (Labeobarbus douronensis) di Sungai Komering Bagian Hulu. Bul. Penel. Perikanan Darat 10(1):17-22.

Gaffar, A.K. dan D. Muthmainnah. 1998. Pengelolaan Perikanan Perairan Umum. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Pengelolaan Lebak Lebung Berbasis Komunitas. Palembang. 10 hal.

NFA. 2000. Freshwater Fisheries Management Policy. http://www.afm.gov.au.

Noble, R.L. 1980. Management of Lakes Reservoir and Ponds. In R.T. Lackey and L.A. Nielsen. Fishery Managemen. Blackwell Scientific Publications. Oxford.

Soemarwoto, O. 1984. Pengembangan Sumberdaya Hayati. Bahan Pelajaran pada Training Course in Aquatic Weeds di SEAMEO-BIOTROP Bogor. 19 hal.

Susilo, R.S. 1993. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum di Sumatera Selatan. Prosiding Puslitbangkan No. 26/1992 p:62-67.

Utomo, A.D., Z. Nasution, M.F. Sukadi dan D. Sadili. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan di Sungai Musi Sumatera Selatan. Laporan Sub Balitkanwar Palembang (unpubl).

Welcomme, R.L. 1979. Fisheries Ecology of Floodplain Rivers. Longman. London.

Kamis, 17 Desember 2009

PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PERTANIAN LAHAN KERING

Dina Muthmainnah
20093602003
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya
e-mail: dina_mth@yahoo.co.id

Tugas Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Lingkungan
dikirim pertama kali pada 23 November 2009
dikirim kembali pada 18 Desember 2009

ABSTRAK
Lahan kering menempati areal yang terluas dan mempunyai kedudukan yang strategis dalam kegiatan pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering merupakan sarana penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan, obat-obatan, dan devisa. Pemanfaatan lahan kering bagi keperluan pertanian memerlukan pengelolaan terpadu antar sektor. Untuk menjaga kelestarian lingkungan diperlukan adanya pengelolaan yang tepat mengikuti kaidah lingkungan. Pengelolaan lahan kering adalah salah satu upaya untuk mengoptimalkan fungsi lahan dan menjaga kelestarian lahan dan lingkungan. Pengelolaan lahan yang tidak tepat dapat menurunkan produktifitas lahan dan produksi pertanian juga akan menurunkan kualitas lingkungan disekitarnya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran dampak dari kegiatan pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya.

Kata kunci: agroekosistem lahan kering, pencemaran, lingkungan


PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta pertambahan penduduk menuntut perlunya penyediaan sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan dan areal pemukiman. Untuk merealisasikannya perlu tindakan yang bijaksana agar tidak menimbulkan dampak perubahan terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang terjadi seperti erosi tanah, longsor, banjir dan kekeringan merupakan tanda-tanda terancamnya keseimbangan ekosistem.
Agroekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara sistem sosial dengan sistem alam, dalam bentuk aktivitas manusia yang berlangsung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (livelihood). Kegiatan prioritas yang dilakukan oleh petani adalah penanaman padi (persawahan).
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih besar dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70%. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hingga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim dalam menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bermuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat (Scherr, 2003).

PERMASALAHAN
Dalam beberapa tahun belakangan ini masalah kerusakan lingkungan sudah menjadi issu Nasional dan Internasional. Salah satu yang mendasari hal ini adalah terjadinya pemanasan global akibat efek rumah kaca yang sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian merupakan salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global. Perubahan lahan hutan menjadi Agroekosistem lahan kering bagi keperluan pertanian menetap dan sementara demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terjadi sejak lama. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya degradasi/penurunan kesuburan lahan. Pemanfaatan lahan kering di perbukitan/lahan miring secara terus menerus untuk keperluan pertanian baik pertanian semusim maupun tanaman perkebunan dapat menyebabkan lahan tersebut mengalami erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Untuk mempertahankan kelestarian lahan diperlukan upaya pengelolaan yang tepat.

TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran dampak dari kegiatan pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya serta cara penanggulangannya.

ALUR PEMIKIRAN
Berikut alur pemikiran dalam pelaksanaan agroekosistem lahan kering yang berkelanjutan.



TINJAUAN PUSTAKA
Sejak akhir abad ke-19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875–1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350% (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah di dataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.
Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Dalam mengambil manfaat ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam, ataupun terlebih dahulu mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung campur tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Menurut Hidayat (2000) bahwa agroekosistem lahan kering dibagi ke dalam beberapa kategori berdasarkan iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut dan jenis tanah yaitu berdasarkan Iklim terbagi atas 2 yaitu (1) Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500 mm/tahun; (2) Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000 mm/ tahun.
Sedangkan bila dibagi berdasarkan ketinggi tempat lahan kering dibedakan atas: (1) Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl dan (2) Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 – 700 meter dpl.
Berdasarkan jenis tanah pada lahan kering dapat dibedakan atas:
1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat lanjut, penampang tanahnya dalam, bertekstur liat sampai liat berat, porositasnya tergolong tinggi, daya menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida besi dan alumunium. Tanah ini relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, Tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung bahan induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral). Termasuk kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.
3. Ultisol, Tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35 % pada kedalaman 125 cm. Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol, Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu volkan yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat – sifatnya antara lain berat isi ringan, kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral amorf (alofan), mempunyai sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan airnya tinggi sekali dan resisten terhadap erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam.
Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Menurut Goenadi (2002) pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas dan akseptibilitas.

SUMBER DAN KEGIATAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Perubahan pola pertanian yang konvensional ke pertanian intensif telah membawa berbagai konsekuensi baik terhadap lingkungan pertanian maupun lingkungan sekitarnya. Konsekuensi nyata perkembangan sistem pertanian intensif antara lain, percepatan erosi, efek residu pupuk dan pestisida. Terjadinya gangguan dalam lingkungan disebabkan adanya manusia yang serakah, kurangnya kepedulian pada ekologi dan akibat penggunaan teknologi pertanian yang tidak mengacu pada pembangunan berwawasan lingkungan (Ambo Ala, 1997). Selain itu, tidak terakomodirnya penggunaan/pemberian pupuk sehingga tidak mampu mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (Nuhfil, dkk., 2003). Selanjutnya Reintjes, dkk. (1999), mengatakan bahwa apabila pemupukan yang digunakan pada suatu daerah rendah, maka produksinya akan tertinggal jauh dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Fenomena ini banyak terjadi pada petani yang mengelola lahan-lahan marginal.
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.

DAMPAK LINGKUNGAN
Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15% apabila tanah tidak dikelola dengan baik saat ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi di waktu hujan. Hal ini terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran permukaan (run off) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007), akibat erosi yang terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin. Dampak dari terjadinya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air setempat.
Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988). Erosi menyebabkan berkurangnya lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman, cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya struktur tanah (Lal, 1988). Masalah utama yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara lain mudah tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensial dan tingkat keracunan aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah tropis merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama kegiatan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang sudah tererosi.


CARA PENGENDALIAN
Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resources) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan. Ada beberapa metode dalam pengendalian dampak negatif dari eksploitasi penggunaan lahan kering.

1. Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi iklim mikro (suhu) di antara lorong tanaman (Sudharto et al., 1996).
Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman legume yang dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan meningkatkan produksi. Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan (Adiningsih dan Sudjadi, 1989).
Hasil pengkajian Basri dkk. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong di Kabupaten Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman penyangga erosi rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur secara efektif dapat mengurangi laju erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass yang dilaksanakan setiap bulan dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi. Pada pengkajian tahun berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat penanaman teras vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada lahan miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya teras secara bertahap sampai menjadi permanen, di samping menjaga kelestarian lahan juga menyebabkan produktifitas lahan akan lebih baik.

2. Pengaturan pola tanam
Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan dalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air dan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin. Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim kering dan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005) menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan.

3. Embung
Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan diwaktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi, 2004).
Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air. Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani. Jumlah embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha. Hasil penelitian Wisnu dkk. ( 2005) di beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering memperlihatkan bahwa dengan penerapan/pemanfaatan embung sebagai sumber air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih efisien dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukan secara bersamaan.

4. Pemakaian pupuk organik
Pengolahan lahan untuk pertanian secara terus menerus akan menyebabkan lahan menjadi kurus sehingga untuk usahatani selanjutnya perlu input yang banyak untuk mengembalikan hara tanah yang sudah banyak diserap tanaman. Pemakaian pupuk anorganik yang tidak seimbang secara terus menerus untuk proses produksi dapat merusak lahan dan dalam jangka panjang lahan menjadi tidak efektif lagi untuk usaha pertanian. Salah satu alternatif untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman atau limbah.
Secara umum saat ini permasalahan yang dihadapi petani di Indonesia adalah kesulitan mendapatkan pupuk anorganik yang kebutuhannya cendrung meningkat. Kesulitan ini sebagian akibat ketersediaan yang tidak mencukupi maupun sistem pendistribusian yang kurang tepat dan faktor faktor lainnya. Sebagai gambaran Produksi nasional tahun 2008 sekitar 6 juta ton sedangkan kebutuhan mencapai 9 juta ton. Kendala ini berimbas kapada penurunan produktifitas lahan dan produksi berbagai komoditas pertanian secara nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan mengurangi ketergantungan akan pupuk anorganik adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara lokal. Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkan dapat memperkecil ketergantungan terhadap pupuk an organik. Pada pihak pemanfaatan limbah pertanian dapat menciptakan efisiensi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman mati, maka selanjutnya terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus (Sutanto, 2002). Kandungan hara setiap sisa tanaman berbeda-beda.
Penelitian dengan pemakaian pupuk organik yang berasal dari ampas biji mimba sudah pernah dilakukan di Desa Tebat Monok Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang. Penelitian dilakukan terhadap tanaman jahe dengan beberapa perlakuan pupuk an organik. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dengan pemakaian pupuk organik (kompos) yang berasal dari ampas biji mimba memperlihatkan pertumbuhan lebih baik dan produksi tanaman lebih tinggi dari pemakaian pupuk dan organik. Dengan demikian terdapat beberapa keuntungan dengan pemakaian pupuk organik yaitu efisiensi terhadap biaya karena harga pembuatan pupuk ini lebih murah, produksi lebih tinggi dan menjaga kesuburan dan kelestarian lahan.

PENUTUP
Dampak dari kegiatan pada egroekosistem pertanian di lahan kering dapat diminimalisir. Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan mengkonversi paket teknologi yang untuk pengembangan sistem usahatani lahan kering. Pengaturan pola tanam adalah usaha yang dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah dengan penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Dengan membangun embung atau tandon air atau waduk berukuran mikro di lahan pertanian dapat menampung kelebihan air hujan di waktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Pemanfaatkan rantai dalam ekologi dapat menciptakan pupuk yang murah dan alami, yang tetap menjaga kesuburan dan kelestarian lahan. Dengan melakukan alternatif pengelolaan lahan kering tersebut diharapkan agroekosiste di lahan kering tetap berkelanjutan dengan dampak lingkungan yang minimal.

UCAPAN TERIMA KASIH
Tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan dengan judul PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PERTANIAN LAHAN KERING dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Supli Effendie Rahim. Pada kesempatan ini penulis sangat mengharapkan koreksi dan masukan dari Bapak Dosen Pembimbing untuk perbaikan penulisan ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada Bapak Dosen Pembimbing untuk arahan dan bimbingan selama ini. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan angkatan III Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama dalam diskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang bersumber dari telaah pustaka dari literatur, makalah-makalah pada publikasi-publikasi ilmiah.

PUSTAKA
Undang-undang Lingkungan Hidup:
1. Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ala A, 1997. Pertanian Organik sebagai Suatu Alternatif Pertanian Berwawasan Lingkungan, Journal of Flora and Fauna, UNHAS – Indonesia, Volume 5 Nomor 1.
Adyono dan H.Setyati., 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Basri., IH, A.Darmadi, Yanfirwan Yanuar, D.Aprizal, W.Mikasari. 2001. Pengkajian Teknologi Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan).
Ewusie, J. Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB Bandung.
Fagi, A.M. dan L. Irsal , 1988. Lingkungan Tumbuh Padi. Padi (Buku I),Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan, Bogor.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Irawan, B dan T. Pranaji. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Nuhfil H. A.R.. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian (Sebuah Pemikiran Baru). LAPPERA Pustaka Utama, Yogyakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.
Pranaji, T. 2006. Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.
Scherr, S.J. 2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Shaxson, T.F. 1988. Conservation Soil by Stealth in (Moldenhauer and Hudson Eds). Conservation Farming on Steep Lands, World Association of Soil and Water Conservation Ankeny Iowa. P: 9-17.
Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Bandung.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sudharto, T., N. Efram, E. Sunarto, Suriatinah, A. Hartono, dan R.L. Watung, 1996. Sistem Usahatani Budidaya Lorong untuk Mendukung Tanaman Pangan dan Buah-buahan di Lahan Kering di Wilayah Gunung Mas, Kalimantan Tengah dalam Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Usahatani Lahan Kering, Palangkaraya, 16 Desember 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997. Teknologi Embung. Sumberdaya Air dan Iklim dalam mewujutkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Wisnu, I.M.W, I. Basuki dan Johanes. 2005. Alternatif Sistem Usahatani dan Pengelolaan sumberdaya air dalam pengembangan lahan kering di NTB. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama. PSE dan UNIB. 33 hal.
Zen, M.T. 1985. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. P.T. Gramedia, Jakarta.