Kamis, 17 Desember 2009

PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PERTANIAN LAHAN KERING

Dina Muthmainnah
20093602003
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya
e-mail: dina_mth@yahoo.co.id

Tugas Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Lingkungan
dikirim pertama kali pada 23 November 2009
dikirim kembali pada 18 Desember 2009

ABSTRAK
Lahan kering menempati areal yang terluas dan mempunyai kedudukan yang strategis dalam kegiatan pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering merupakan sarana penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan, obat-obatan, dan devisa. Pemanfaatan lahan kering bagi keperluan pertanian memerlukan pengelolaan terpadu antar sektor. Untuk menjaga kelestarian lingkungan diperlukan adanya pengelolaan yang tepat mengikuti kaidah lingkungan. Pengelolaan lahan kering adalah salah satu upaya untuk mengoptimalkan fungsi lahan dan menjaga kelestarian lahan dan lingkungan. Pengelolaan lahan yang tidak tepat dapat menurunkan produktifitas lahan dan produksi pertanian juga akan menurunkan kualitas lingkungan disekitarnya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran dampak dari kegiatan pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya.

Kata kunci: agroekosistem lahan kering, pencemaran, lingkungan


PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta pertambahan penduduk menuntut perlunya penyediaan sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan dan areal pemukiman. Untuk merealisasikannya perlu tindakan yang bijaksana agar tidak menimbulkan dampak perubahan terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang terjadi seperti erosi tanah, longsor, banjir dan kekeringan merupakan tanda-tanda terancamnya keseimbangan ekosistem.
Agroekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara sistem sosial dengan sistem alam, dalam bentuk aktivitas manusia yang berlangsung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (livelihood). Kegiatan prioritas yang dilakukan oleh petani adalah penanaman padi (persawahan).
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih besar dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70%. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hingga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim dalam menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bermuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat (Scherr, 2003).

PERMASALAHAN
Dalam beberapa tahun belakangan ini masalah kerusakan lingkungan sudah menjadi issu Nasional dan Internasional. Salah satu yang mendasari hal ini adalah terjadinya pemanasan global akibat efek rumah kaca yang sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian merupakan salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global. Perubahan lahan hutan menjadi Agroekosistem lahan kering bagi keperluan pertanian menetap dan sementara demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terjadi sejak lama. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya degradasi/penurunan kesuburan lahan. Pemanfaatan lahan kering di perbukitan/lahan miring secara terus menerus untuk keperluan pertanian baik pertanian semusim maupun tanaman perkebunan dapat menyebabkan lahan tersebut mengalami erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Untuk mempertahankan kelestarian lahan diperlukan upaya pengelolaan yang tepat.

TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran dampak dari kegiatan pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya serta cara penanggulangannya.

ALUR PEMIKIRAN
Berikut alur pemikiran dalam pelaksanaan agroekosistem lahan kering yang berkelanjutan.



TINJAUAN PUSTAKA
Sejak akhir abad ke-19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875–1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350% (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah di dataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.
Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Dalam mengambil manfaat ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam, ataupun terlebih dahulu mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung campur tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Menurut Hidayat (2000) bahwa agroekosistem lahan kering dibagi ke dalam beberapa kategori berdasarkan iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut dan jenis tanah yaitu berdasarkan Iklim terbagi atas 2 yaitu (1) Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500 mm/tahun; (2) Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000 mm/ tahun.
Sedangkan bila dibagi berdasarkan ketinggi tempat lahan kering dibedakan atas: (1) Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl dan (2) Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 – 700 meter dpl.
Berdasarkan jenis tanah pada lahan kering dapat dibedakan atas:
1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat lanjut, penampang tanahnya dalam, bertekstur liat sampai liat berat, porositasnya tergolong tinggi, daya menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida besi dan alumunium. Tanah ini relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, Tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung bahan induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral). Termasuk kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.
3. Ultisol, Tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35 % pada kedalaman 125 cm. Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol, Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu volkan yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat – sifatnya antara lain berat isi ringan, kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral amorf (alofan), mempunyai sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan airnya tinggi sekali dan resisten terhadap erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam.
Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Menurut Goenadi (2002) pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas dan akseptibilitas.

SUMBER DAN KEGIATAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Perubahan pola pertanian yang konvensional ke pertanian intensif telah membawa berbagai konsekuensi baik terhadap lingkungan pertanian maupun lingkungan sekitarnya. Konsekuensi nyata perkembangan sistem pertanian intensif antara lain, percepatan erosi, efek residu pupuk dan pestisida. Terjadinya gangguan dalam lingkungan disebabkan adanya manusia yang serakah, kurangnya kepedulian pada ekologi dan akibat penggunaan teknologi pertanian yang tidak mengacu pada pembangunan berwawasan lingkungan (Ambo Ala, 1997). Selain itu, tidak terakomodirnya penggunaan/pemberian pupuk sehingga tidak mampu mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (Nuhfil, dkk., 2003). Selanjutnya Reintjes, dkk. (1999), mengatakan bahwa apabila pemupukan yang digunakan pada suatu daerah rendah, maka produksinya akan tertinggal jauh dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Fenomena ini banyak terjadi pada petani yang mengelola lahan-lahan marginal.
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.

DAMPAK LINGKUNGAN
Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15% apabila tanah tidak dikelola dengan baik saat ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi di waktu hujan. Hal ini terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran permukaan (run off) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007), akibat erosi yang terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin. Dampak dari terjadinya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air setempat.
Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988). Erosi menyebabkan berkurangnya lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman, cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya struktur tanah (Lal, 1988). Masalah utama yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara lain mudah tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensial dan tingkat keracunan aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah tropis merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama kegiatan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang sudah tererosi.


CARA PENGENDALIAN
Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resources) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan. Ada beberapa metode dalam pengendalian dampak negatif dari eksploitasi penggunaan lahan kering.

1. Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi iklim mikro (suhu) di antara lorong tanaman (Sudharto et al., 1996).
Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman legume yang dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan meningkatkan produksi. Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan (Adiningsih dan Sudjadi, 1989).
Hasil pengkajian Basri dkk. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong di Kabupaten Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman penyangga erosi rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur secara efektif dapat mengurangi laju erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass yang dilaksanakan setiap bulan dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi. Pada pengkajian tahun berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat penanaman teras vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada lahan miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya teras secara bertahap sampai menjadi permanen, di samping menjaga kelestarian lahan juga menyebabkan produktifitas lahan akan lebih baik.

2. Pengaturan pola tanam
Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan dalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air dan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin. Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim kering dan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005) menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan.

3. Embung
Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan diwaktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi, 2004).
Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air. Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani. Jumlah embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha. Hasil penelitian Wisnu dkk. ( 2005) di beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering memperlihatkan bahwa dengan penerapan/pemanfaatan embung sebagai sumber air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih efisien dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukan secara bersamaan.

4. Pemakaian pupuk organik
Pengolahan lahan untuk pertanian secara terus menerus akan menyebabkan lahan menjadi kurus sehingga untuk usahatani selanjutnya perlu input yang banyak untuk mengembalikan hara tanah yang sudah banyak diserap tanaman. Pemakaian pupuk anorganik yang tidak seimbang secara terus menerus untuk proses produksi dapat merusak lahan dan dalam jangka panjang lahan menjadi tidak efektif lagi untuk usaha pertanian. Salah satu alternatif untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman atau limbah.
Secara umum saat ini permasalahan yang dihadapi petani di Indonesia adalah kesulitan mendapatkan pupuk anorganik yang kebutuhannya cendrung meningkat. Kesulitan ini sebagian akibat ketersediaan yang tidak mencukupi maupun sistem pendistribusian yang kurang tepat dan faktor faktor lainnya. Sebagai gambaran Produksi nasional tahun 2008 sekitar 6 juta ton sedangkan kebutuhan mencapai 9 juta ton. Kendala ini berimbas kapada penurunan produktifitas lahan dan produksi berbagai komoditas pertanian secara nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan mengurangi ketergantungan akan pupuk anorganik adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara lokal. Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkan dapat memperkecil ketergantungan terhadap pupuk an organik. Pada pihak pemanfaatan limbah pertanian dapat menciptakan efisiensi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman mati, maka selanjutnya terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus (Sutanto, 2002). Kandungan hara setiap sisa tanaman berbeda-beda.
Penelitian dengan pemakaian pupuk organik yang berasal dari ampas biji mimba sudah pernah dilakukan di Desa Tebat Monok Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang. Penelitian dilakukan terhadap tanaman jahe dengan beberapa perlakuan pupuk an organik. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dengan pemakaian pupuk organik (kompos) yang berasal dari ampas biji mimba memperlihatkan pertumbuhan lebih baik dan produksi tanaman lebih tinggi dari pemakaian pupuk dan organik. Dengan demikian terdapat beberapa keuntungan dengan pemakaian pupuk organik yaitu efisiensi terhadap biaya karena harga pembuatan pupuk ini lebih murah, produksi lebih tinggi dan menjaga kesuburan dan kelestarian lahan.

PENUTUP
Dampak dari kegiatan pada egroekosistem pertanian di lahan kering dapat diminimalisir. Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan mengkonversi paket teknologi yang untuk pengembangan sistem usahatani lahan kering. Pengaturan pola tanam adalah usaha yang dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah dengan penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Dengan membangun embung atau tandon air atau waduk berukuran mikro di lahan pertanian dapat menampung kelebihan air hujan di waktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Pemanfaatkan rantai dalam ekologi dapat menciptakan pupuk yang murah dan alami, yang tetap menjaga kesuburan dan kelestarian lahan. Dengan melakukan alternatif pengelolaan lahan kering tersebut diharapkan agroekosiste di lahan kering tetap berkelanjutan dengan dampak lingkungan yang minimal.

UCAPAN TERIMA KASIH
Tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan dengan judul PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PERTANIAN LAHAN KERING dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Supli Effendie Rahim. Pada kesempatan ini penulis sangat mengharapkan koreksi dan masukan dari Bapak Dosen Pembimbing untuk perbaikan penulisan ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada Bapak Dosen Pembimbing untuk arahan dan bimbingan selama ini. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan angkatan III Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama dalam diskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang bersumber dari telaah pustaka dari literatur, makalah-makalah pada publikasi-publikasi ilmiah.

PUSTAKA
Undang-undang Lingkungan Hidup:
1. Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ala A, 1997. Pertanian Organik sebagai Suatu Alternatif Pertanian Berwawasan Lingkungan, Journal of Flora and Fauna, UNHAS – Indonesia, Volume 5 Nomor 1.
Adyono dan H.Setyati., 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Basri., IH, A.Darmadi, Yanfirwan Yanuar, D.Aprizal, W.Mikasari. 2001. Pengkajian Teknologi Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan).
Ewusie, J. Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB Bandung.
Fagi, A.M. dan L. Irsal , 1988. Lingkungan Tumbuh Padi. Padi (Buku I),Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan, Bogor.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Irawan, B dan T. Pranaji. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Nuhfil H. A.R.. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian (Sebuah Pemikiran Baru). LAPPERA Pustaka Utama, Yogyakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.
Pranaji, T. 2006. Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.
Scherr, S.J. 2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Shaxson, T.F. 1988. Conservation Soil by Stealth in (Moldenhauer and Hudson Eds). Conservation Farming on Steep Lands, World Association of Soil and Water Conservation Ankeny Iowa. P: 9-17.
Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Bandung.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sudharto, T., N. Efram, E. Sunarto, Suriatinah, A. Hartono, dan R.L. Watung, 1996. Sistem Usahatani Budidaya Lorong untuk Mendukung Tanaman Pangan dan Buah-buahan di Lahan Kering di Wilayah Gunung Mas, Kalimantan Tengah dalam Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Usahatani Lahan Kering, Palangkaraya, 16 Desember 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997. Teknologi Embung. Sumberdaya Air dan Iklim dalam mewujutkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Wisnu, I.M.W, I. Basuki dan Johanes. 2005. Alternatif Sistem Usahatani dan Pengelolaan sumberdaya air dalam pengembangan lahan kering di NTB. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama. PSE dan UNIB. 33 hal.
Zen, M.T. 1985. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. P.T. Gramedia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar