Jumat, 18 Desember 2009

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN PADA PERIKANAN RAWA LEBAK

Dina Muthmainnah

20093602003

Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya

e-mail: dina_mth@yahoo.co.id

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan

Dosen Pengasuh: Prof. Dr. Supli Effendie Rahim

Dikirim pertama kali pada 18 Desember 2009

ABSTRAK

Tahun 2015 Indonesia dicanangkan akan menjadi penghasil perikanan terbesar di dunia terutama dari budidaya. Tentu tak dapat dipungkiri bahwa akan ada dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Pada makalah ini akan memberikan pemikiran pendekatan holistic yaitu pendekatan secara teknik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum dalam upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dari usaha perikanan tangkap dan budidaya di kawasan rawa lebak khususnya di Sumatera Selatan. Bagian rawa lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, dan ini sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Lebak dalam ini sering disebut juga lebak lebung. Di Sumatera Selatan, lelang lebak lebung memberikan andil dalam pendapatan asli daerah. Tindakan pengelolaan meliputi pengawasan terhadap penangkapan dan mengurangi bahaya perubahan habitat baik secara biologi ataupun secara fisik yang dapat dilakukan adalah dengan pembatasan penangkapan, perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhan, mengurangi ikan predator, penebaran dan perbaikan habitat. Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka penebaran kembali dan budidaya perikananlah yang dijadikan usaha perikanan alternatif yang perlu digalakkan.

Kata Kunci: Pendekatan Holistik, Pencegahan, Pengendalian, Pencemaran, Rawa Lebak

PENDAHULUAN

Dewasa ini, masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Status ketahanan pangan pun sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk pemenuhan ketahanan pangan tersebut dapat dilakukan dengan membangun suatu kawasan yang bertujuan menciptakan atau meningkatkan dayaguna kawasan tersebut secara berkelanjutan. Menciptakan dayaguna dapat dilakukan pada kawasan alami, contohnya dengan mengembangkan rawa lebak untuk usaha perikanan budidaya dan tangkap.

Pemahaman dalam mengelola rawa lebak sangatlah penting. Sebaiknya kita mempertahankan fungsi ekologis kawasan tersebut dalam penggunaannya untuk keperluan kehidupan seperti pemukiman, pertanian, perikanan dan lain-lain. Pengelolaan yang bijaksana dengan melakukan penataan ruang, dan pengawasan yang ketat dari pihak pemerintah dapat ditentukan mana kawasan rawa yang dapat dikelola dan mana yang harus dipertahankan fungsi ekologisnya.

Saat ini perikanan Indonesia dalam waktu yang relatif singkat telah mampu memperlihatkan identitasnya, memberikan sumbangan yang substansial dalam pembangunan perekonomian. Secara keseluruhan, perikanan mempunyai peranan dan posisi vital dalam pemenuhan kebutuhan gizi protein, kesempatan kerja, penerimaan devisa dan pengembangan wilayah (Baharsyah, 1990). Produksi perikanan di Propinsi Sumatera Selatan menunjukkan peningkatan selama kurun waktu 2001-2007. Peningkatan produksi ikan 2007 adalah sebesar 11,05% dibanding tahun 2006 yatu sebesar 198.429 ton termasuk hasil tangkapan alam dan hasil budidaya (BPS Sumsel 2008). Dengan dicanangkannya tahun 2015 Indonesia menjadi penghasil perikanan terbesar di dunia terutama dari budidaya, tak dapat dipungkiri bahwa akan ada dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Untuk itu pada makalah ini akan turut memberikan pemikiran pendekatan holistic dalam upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dari usaha perikanan tangkap dan budidaya di kawasan rawa lebak khususnya di Sumatera Selatan.

KARAKTERISTIK RAWA LEBAK

Di Sumatera Selatan ada lima istilah untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak di Sumatera Selatan. Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Kemudian talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran, dan merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas batuan sedimen, atau batuan volkan masam. Untuk lebaknya sendiri terdiri dari lebak pematang yaitu berupa sawah di belakang perkampungan. dan merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga disebut Lebak Dangkal. Untuk lebak tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah lebak tengahan, apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan. Bagian rawa lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, dan ini sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Sedangkan lebak dangkal dan lebak tengahan hanya sesuai untuk pertanian tanaman pangan.

Pada lebak dalam airnya sukar mengering kecuali pada musim kemarau panjang dan disebut juga lebak lebung, yang dijadikan tempat memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6 bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam setahun.

Lahan lebak sebenarnya lebih baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut, di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan adanya lapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Tentunya penelitian karakteristik pola hidrologi, dan potensi agronomi lahan lebak, perlu lebih mendapatkan fokus perhatian lebih besar.

EKOLOGI RAWA LEBAK

Pada perairan lebak lebung di Sumatera Selatan, terdapat berbagai jenis vegetasi air dari familia Graminae dan berbagai jenis pepohonan besar yang merupakan sumberdaya hayati yang sangat menentukan kehidupan hewan-hewan air. Vegetasi air ini melalui proses fotosintesis merupakan penghasil energi untuk metabolism dalam kehidupan sehari-hari serta merupakan sumber energi untuk produksi sekunder. Dalam proses fotosintesa dihasilkan oksigen untuk pernafasan hewani yang hidup dalam ekosistem tersebut. Sumberdaya hayati dalam ekosistem perairan lebak merupakan sumberdaya terbaru, dimana dalam proses pembaruan diri materi mengalami daur ulang. Dengan pendauran itu menjadikan proses pemurnian diri lingkungan karena bahan sisa dari suatu proses akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses yang lain yang menghasilkan zat yang berguna bagi organism yang bersangkutan (Soemarwoto, 1984). Bila dinamika ini terjaga dengan baik akan selalu menghasilkan energi termanfaatkan untuk kelangsungan dan kelestarian sumberdayaperikanan sepanjang tahun.

Dalam bentuk profil memanjang suatu sungai yang alirannya ke arah laut, dapat dibagi 2 bagian yaitu bagian hulu yang disebut dengan rhitron dan bagian hilir disebut potamon. Gaffar et al (1998) mengemukakan bahwa daerah potamon dapat dibagi lagi menjagi 2 bagian yaitu bagian tengah dan bagian hilir. Bagian potamon dicirikan oleh kadar oksigen umumnya rendah, arus lemah dan dasar sungai berupa lumpur atau pasir. Di bagian potamon, air melimpah ke kanan-kiri badan sungai di waktu musim hujan ketika air tidak tertampung lagi. Akibat peluapan dan penyurutan air dari dan ke badan sungai inilah terjadi proses pengendapan yang membentuk tanggul (pematang) sepanjang sungai dan di belakang pematang ini terbentuk daerah paparan banjir di kanan-kiri badan sungai. Perairan rawa banjiran (paparan banjir) termasuk dalam tipe lebak delta tengah yang dilihat dari sektor sumberdaya perikanan tergolong habitat yang penting dibandingkan dengan tipe lebak pinggiran (terletak pada bagian hulu) dan tipe lebak delta pantai (terletak pada bagian hilir). Dalam habitat rawa banjiran terdapat lagi berbagai tipe sub habitat penting yang kondisinya akan berbeda secara dinamis, seiring dengan perubahan musim hujan dan musim kemarau yang terjadi sepanjang tahun antara lain: talang rawang, lebak kumpai dan sungai utama (Batanghari).

Di dalam areal rawang dan lebak kumpai terdapat lagi tipe habitat yang disebut lebung, sedangkan di dalam sungai utama ada terdapat tipe habitat yang disebut lubuk. Lebung dan lubuk merupakan dia tipe sub habitat penting pada tipe perairan paparan banjir, dikarenakan kedua habitat tersebut merupakan tempat perlindungan dan penyelamatan ikan-ikan ekonomis penting tertentu pada saat datangnya musim kemarau. Perairan rawa banjiran (lebak delta tengah) memiliki areal yang lebih luas dan mempunyai jumlah massa dan jenis ikan paling banyak, untuk itulah habitat ini mempunyai kedudukan penting pada sektor sumberdaya perikanan. Pada lebak delta tengah (rawa banjiran) dibedakan menjadi 2 bagian yakni lingkungan sungai induk dan lingkungan lebak. Dalam habitat lebak dan sekitarnya ada berbagai subtipe yang langsung atau tidak langsung menerima pengaruh air dari sungai induk, seperti lebung-lebung, sungai mati, rawa, hutan rawang dan danau.

SUMBERDAYA PERIKANAN RAWA LEBAK

Di Sumatera Selatan pada perairan yang disebut lebak lebung, ikan-ikan yang termasuk ikan hitam (black fishes) adalah betok (Anabas testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), tembakang (Helostoma temminckii), gabus (Channa striata), lele-lelean (Clarias spp), belut (Monopterus albus), sepatung (Pristoplepis fasciatus) dan lain-lain yang umumnya mempunyai alat pernafasan tambahan (labyrinthichi). Jenis ikan hitam dan ikan putih (yang merupakan ikan sungai) jarang hidup bersama, namun pada saat-saat tertentu kedua jenis ikan ini dapat hidup bersama tetapi tidak bertahan lama. Kelompok ikan hitam ini ditinjau dari nilai ekonomis umumnya tergolong ikan murah.

DAMPAK AKTIVITAS NELAYAN TERHADAP HABITAT RAWA LEBAK

Pada habitat lebak ini terdapat lekukan-lekukan dan alur-alur air yang sengaja dibuat nelayan ntuk memudahkan menangkap ikan. Aktivitas penangkapan ikan di perairan tipe lebak pada saat musim kemarau bisa mencapai puncaknya karena kebanyakan ikan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu yang masih ada airnya. Aktivitas penangkapan di lebak pada musim kemarau cenderung menghabiskan sumberdaya ikan dikarenakan nelayan dengan mudah menangkap ikan pada perairan dengan luasan tertentu dan biasanyanya sumberdaya ikan yang ada ditangkap semua (dikuras habis).

Aktivitas lain dari masyarakat nelayan atau penduduk sekitar pada saat musim kemarau adalah kebiasaan membakar tumbuh-tumbuhan air yang sudah kering dan mati, terkadang pula pohon-pohon yang terdapat dalam areal hutan rawang ikut terbakar. Aktivitas pembakaran tumbuhan air atau pohon-pohon di areal perairan rawa banjiran bisa bersifat menguntungkan bila ditinjau dari sisi dan energi atau siklus rantai makanan. Namun bila ditinjau dari keanekaragaman jenis ikan yang hidup di dalamnya dapat bersifat merugikan.

Bahan residu yang dihasilkan dari adanya aktivitas pembakaran tumbuhan di areal lebak pada musim kemarau akan meninggalkan mineral-mineral berguna untuk pertumbuhan fitolankton di saat datang musim penghujan. Unsur-unsur mineral tersebut akan terurai dan dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan akuatik yang juga akan tergantung dari faktor lain seperti faktor fisika (kecerahan). Air hujan yang jatuh yang pada daerah aliran sungai dapat membawa unsur-unsur nitrat, ammonium dan sulfat. Demikian pula air yang turun dari daerah bagian hulu akan membawa unsur-unsur dari pelapukan bebatuan yang selanjutnya meresapi tanah yang dilewati dan meyumbangkan kation-kation seperti Na, K, Mg dan Ca, anion-anion P-terlarut, CO3 dan HCO3. Semua unsur tersebut berperan penting terhadap penyuburan perairan yang dilalui. Demikian lahan lebak, bekas tempat terjadinya akitivitas pembakaran tumbuhan air, perairannya subur begitu digenangi air saat datangnya musim penghujan. Kondisi perairan seperti itu untuk selanjutnya dipenuhi oleh benih-benih atau anak-anak ikan yang baru menetas yang biasanya didominasi oleh benih atau anak ikan dari jenis tembakang (Helostoma temminckii) dan sepat siam (Tricogaster pectoralis).

Pada areal rawa banjiran yang sinar matahari terhalang masuk disebabkan oleh rimbun atau lebatnya pohon-pohon, sebagian besar produktivitas primernya tidak dilakukan oleh kelompok fitoplankton, epifiton maupun perifiton. Kelompok plankton nabati akan terhambat perkembangannya disebabkan adanya kompetisi zat hara dan kompetisi dari tumbuhan macrofit. Dapat pula dijelaskan bahwa peningkatan luas perairan dengan datangnya musim penghujan akan membebaskan zat-zat hara dari komponen teresterial ke dalam komponen akuatik dan memberkan pertumbuhan yang baik terhadap golongan macrofit dan mendukung perkembangan tumbuhan microfit lainnya seperti epifiton dan perifiton.

PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA LEBAK

A. PENDEKATAN TEKNIK

Perlindungan Habitat

Suatu tindakan perekayasaan lingkungan mungkin memberi peluang berkembangnya jenis tertentu melebihi kemampuan jenis ikan lainnya sehingga upaya perbaikan habitat atau perekayaan lingkungan hendaknya menguntungkan jenis yang dikehendaki (Noble, 1980).

Perbaikan habitat dan perekayaan lingkungan dapat dilakukan dalam upaya pemulihan populasi misalnya pembangunan rumpon, penanaman kembali vegetasi hutan rawa, restorasi habitat pemijahan. Perbaikan habitat dapat meningkatkan daya dukung suatu perairan, dimana perairan tersebut dapat menunjang maksimum biomas (ikan) dalam jangka panjang dengan menyediakan sumber pakan. Ketersediaan pakan tersebut tentu saja tergantung pada ketersediaan nutrient dan efisiensi pemanfaatan nutrient tersebut dalam rantai makanan. Terbatasnya unsur hara di perairan yang biasanya berkaitan dengan sifat tanah di lingkungan sekitarnya menyebabkan tingkat kesuburan rendah yang menghasilkan miskinnya pakan bagi pertumbuhan ikan. Perkembangan tanaman air akan menghambat pertumbuhan fitoplankton. Keseimbangan populasi ikan akan terjadi bila ada keseimbangan antara kerapatan tanaman air (macrophyte) dan fitoplankton.

Suaka Perikanan

Suatu pengaturan yang khusus untuk melindungi biodiversitas ikan di suatu perairan adalah suaka perikanan yaitu perairan yang tertentu bagi kegiatan penangkapan baik secara parsial maupun total. Bila ada jenis ikan dikhawatirkan akan punah, atau pada sistem perairan yang luas terjadi penangkapan dengan intensitas tinggi dan dikhawatirkan terjadi penangkapan lebih (over fishing) atau terjadi perubahan habitat perikanan yang berlangsung relatif cepat maka perlu dipilih suatu badan air (dengan batas yang jelas) untuk dijadikan suaka perikanan). Adanya suaka perikanan memungkinkan ikan berkembang biak sehingga mencapai kondisi populasi berimbang atau dapat menyediakan benih ikan untuk memperkaya stok di perairan sekitarnya (Gaffar dan Muthmainnah, 2001).

Pemacuan Stok

Dalam pengelolaan perikanan perairan umum kegiatan pemacuan stok terutama ditujukan untuk memulihkan populasi jenis ikan asli, dengan beberapa sasaran yaitu melindungi kepunahan jenis ikan tertentu, mempertahankan produksi atau stok ikan yang bernilai ekonomi dan menjaga keragaman jenis ikan sebagai sumberdaya hayati perairan (Born, 1999). Perubahan pada suatu sistem badan air akibat pembangunan misalnya bendungan dapat menyebabkan hilangnya beberapa jenis ikan asli dan terjadi perubahan dalam struktur komunitas ikan atau biota perairan (Welcomme, 1979). Pemacuan stok sendiri merupakan berbagai kegiatan meliputi domestikasi, penebaran, perbaikan habitat, budidaya dan penyuburan perairan (Born, 1999).

Domestikasi

Di perairan umum Indonesia terdapat berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan hias. Perusakan habitat dan degradasi mutu lingkungan perairan juga mengganggu siklus hidup ikan yang menyebabkan peremajaan tidak seimbangan dengan penangkapan. Kegiatan domestikasi dimulai dengan memelihara benih atau induk yang berasal dari perairan umum di dalam wadah budidaya, diberi pakan buatan dan setelah ada induk yang matang kelamin dilakukan pemijahan secara terkontrol (Edwards, 1994). Dan bila telah dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkunan yang terkontrol, dapat tumbuh mencapai ukuran yang diinginkan dalam waktu tertentu yang direncanakan, kematangan gonad tidak lagi tergantung pada musim (cuaca) dan perbenihan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan maka usaha ini telah berhasil.

Penebaran

Pelepasan ikan di perairan umum sesuai dengan tujuan dapat dibedakan atas pengembalaan dan pemulihan populasi. Pada pengembalaan maka benih ikan yang ditebar akan dipanen setelah mencapai ukuran yang layak untuk dipasarkan sedangkan pada pemulihan populasi ikan tidak ditangkapi dan diberi kesempatan berkembang biak di perairan umum. Untuk mengoptimalkan manfaat pelepasan ikan di perairan umum perlu dicermati ukuran yang cocok untuk dilepas, kondisi perairan, musim, dan padat tebar (FAO, 1976).

B. PENDEKATAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA

Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui pembinaan dan melindungi sumberdaya untuk kebutuhan generasi mendatang, Perikanan perairan umum sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat terbuka tidak dilakukan oleh orang sebagai “pemilik” tapi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai produsen mapun sebagai konsumen. Karena itu semua orang yang mendapat manfaat dari perikanan perairan umum hendaknya ikut menjaga sumberdaya yang berkelanjutan akan mempengaruhi keberlanjutan usaha mereka.

Pemerintah pusat seringkali gagal untuk mengembangkan suatu pola pengelolaan yang dapat dijadikan komplemen bagi pengelolaan secara tradisional di suatu daerah. Untuk itu perlu dikembangkan pola pengelolaan bersama yang dapat diartikan sebagai urunan tanggung jawab atau otoritas antara pemerintah dan masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan. Dengan demikian akan mengurangi konflik sosial dan meningkatkan keakraban sosial dan masyarakat.

Kunci untuk keberhasilan dalam pendekatan ini adalah perairan yang dikelola mempunyai batas yang jelas; keanggotaan dan jumlah anggota untuk masing-masing perairan ditentukan secara transparan. Pengelolaan berada di lingkungan/dekat dengan perairan yang dikelola dengan tetap memperhatikan sistem dan aturan yang berlaku secara tradisional. Semua pihak mendapatkan keuntungan dari pengelolaan perairan tersebut. Yang paling penting adalah peraturan yang telah dibuat harus dipatuhi oleh semua pihak dan ada koordinasi yang baik antara pengelola dengan instansi pemerintah.

C. PENDEKATAN HUKUM

Perizinan dan Lelang Lebak Lebung

Penangkapan ikan di perairan umum di Sumatera Selatan diatur denga PERDA Sumatera Selatan No. 6 tahun 1978 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 705/KPTS/II/82 tentang Lelang Lebak Lebung. Dengan memberikan hak kepada satu atau sekelompok orang yang disebut “pengemin” untuk mengelola dan “menguasai” satu badan air selama 1 tahun dan diberi tanggung jawab untuk merawat dan mengawasi semua kegiatan di dalam badan air tersebut termasuk memanfaatkan sumberdaya ikan dan biota perairan lainnya.

Sistem lelang ini berhasil mengatur nelayan yang akan menangkap ikan di suatu perairan yang batasnya telah ditentukan dan juga meningkatkan pemasukan bagi pemerintah daerah. Pembatasan waktu 1 tahun mengharuskan pengemin berusaha mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa kasus terjadi pengoperasian alat tangkap yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan.

Dampak negatif dari lelang lebak lebung adalah menonjolnya unsur penguasaan dibanding pengelolaan sehingga perairan umum tidak lagi bersifat umum tapi menjadi milik satu atau sekelompok orang, yang dapat menimbukan konflik sosial dalam masyarakat yang berada di sekitar badan air.

Reservat (Suaka Perikanan)

Untuk tujuan perlindungan dan konservasi ikan dan hewan air lainnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk I Sumatera Selatan No. 389/KPTS/IV/82 telah ditetapkan 3 perairan reservaat perikanan yaitu: (1) Danau Ulak Lia Kabupaten Musi Banyuasin; (2) Lebung Karangan Kabupaten Ogan Komering Ilir; dan (3) Teluk Rasau Kabupaten Ogan Koering Ilir. Dan perairan yang berfungsi sebagai suaka perikanan yaitu Danau Rawa Kabupaten Musi Rawas dan Bendungan Gegas Kabupaten Musi Rawas.

Pembersihan Perairan

Pembersihan perairan terhadap tanaman air pengganggu telah dilakukan oleh Dinas Perikanan sejak tahun 1975 di beberapa perairan yang berfungsi sebagai reservat perikanan dan berdasarkan PERDASS No. 8/1973-1974 kepada pengemin yang memenangkan lelang di suatu perairan dianjurkan untuk merawat dan membersihkan perairan dari tumbuhan gulma.

Penebaran Ikan

Beberapa jenis ikan yang telah diintroduksi oleh pemerintah (Dinas Perikanan) seperti ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis), ikan nila Oreochromis niloticus), ikan Tawes (Puntius gonionotus) dan djambal siam (Pangasius sutchi).

Dalam restocking pemilihan jenis ikan yang ditebar harus dicermati karena ada kecendrungan ikan introduksi dapat mengganggu struktur komunitas ikan yang sudah ada.

Pengaturan Penangkapan

Penangkapan ikan menggunakan alat atau bahan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan seperti penggunaan bahan peledak, racun dan listrik dilarang berdasarkan PERDASS No. 6 Tahun 1978 dan SK Gubernur KDH Tk 1 Sumatera Selatan No. 705/KPTS/II/82. Dilarang juga penangkapan jenis ikan langka misal Tangkeleso (Scheleropages formosus) dan ikan Toman (Ophiocephalus micropeltes) dan Gabus (Channa striata) yang berukuran < 15 cm.

Budidaya Ikan di Perairan Umum

Sistem budidaya dalam sangkar terapung telah dikenal sejak tahun 1978 oleh Ondara, didahului adanya percobaan pembesaran ikan Toman (Ophiocephalus micropeltes) di Lebung Karangan dan Sungai Lempuing. Bahan sangkar semula dari bilah bambu telah berkembang dengan menggunakan bahan kayu, jaring dan bambu bulatan. Jenis ikan yang dibudidayakan sudah beragam baik ikan asli seperti patin, baung, toman, gabus, dan belida mapun ikan introduksi seperti ikan nila, dan jambal siam.

Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka budidaya ikan sebagai usaha perikanan alternatif perlu digalakkan.

PENUTUP

Idealnya dalam usaha pengendalian dan pencegahan dampak negatif pada suatu habitat perlu pendekatan secara holistik. Tindakan pengelolaan meliputi pengawasan terhadap penangkapan dan mengurangi bahaya perubahan habitat baik secara biologi ataupun secara fisik yang dapat dilakukan adalah dengan pembatasan penangkapan, perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhan, mengurangi ikan predator, penebaran dan perbaikan habitat.

Dari segi hukum, di Sumatera Selatan, sistem lelang berhasil mengatur nelayan yang akan menangkap ikan di suatu perairan yang batasnya telah ditentukan dan juga meningkatkan pemasukan bagi pemerintah daerah. Tetapi pembatasan waktu 1 tahun akan menyebabkan pengemin berusaha mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa kasus dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan. Jadi yang menonjol adalah unsur penguasaan dibanding pengelolaan yang dapat menimbukan konflik sosial dalam masyarakat yang berada di sekitar badan air. Untuk memperkecil tekanan terhadap sumberdaya melalui penangkapan maka penebaran kembali dan budidaya perikanan merupakan usaha perikanan alternatif yang perlu digalakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1993. Laporan Tahunan Perikanan Tahun 1992. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Palembang.

Baharsyah, Sj. 1990. Pidato Pengarahan Menteri Muda Pertanian dalam Forum I Perikanan, Sukabumi, 19-20 Juli 1990. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangkan-USAID/FRDP.

Born, B. 1999. Overview of Inland Fishery Enhancement from a Global Perspective FAO Aquaculture Newletter No. 21. FAO Rome.

BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2008. Sumatera Selatan dalam Angka 2008. BPS Sumatera Selatan.

Edwards, P. 1994. Partners in Development: The Promotion of Sustainable Aquaculture AIT, Bangkok.

Gaffar, A. dan A.D. Utomo. 1990. Effektifitas dan Selektifitas Berbagai Alat Tangkap di Lubuk Lampam, Sumatera Selatan. Bul. Penel. Perikanan Darat 9(1):1-7.

Gaffar, A.K., A.D. Utomo dan S. Adjie. 1991. Pola Pertumbuhan, Makan dan Fekunditas Ikan Semah (Labeobarbus douronensis) di Sungai Komering Bagian Hulu. Bul. Penel. Perikanan Darat 10(1):17-22.

Gaffar, A.K. dan D. Muthmainnah. 1998. Pengelolaan Perikanan Perairan Umum. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Pengelolaan Lebak Lebung Berbasis Komunitas. Palembang. 10 hal.

NFA. 2000. Freshwater Fisheries Management Policy. http://www.afm.gov.au.

Noble, R.L. 1980. Management of Lakes Reservoir and Ponds. In R.T. Lackey and L.A. Nielsen. Fishery Managemen. Blackwell Scientific Publications. Oxford.

Soemarwoto, O. 1984. Pengembangan Sumberdaya Hayati. Bahan Pelajaran pada Training Course in Aquatic Weeds di SEAMEO-BIOTROP Bogor. 19 hal.

Susilo, R.S. 1993. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum di Sumatera Selatan. Prosiding Puslitbangkan No. 26/1992 p:62-67.

Utomo, A.D., Z. Nasution, M.F. Sukadi dan D. Sadili. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan di Sungai Musi Sumatera Selatan. Laporan Sub Balitkanwar Palembang (unpubl).

Welcomme, R.L. 1979. Fisheries Ecology of Floodplain Rivers. Longman. London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar